 |
(Conny Ellen Lang sewaktu muda) |
Hari itu Rabu, 10 Mei
2013. Seperti biasa, saya dan ibu saya menemani para misionaris mengunjungi
rumah simpatisan dan anggota gereja. Saat itu kami mengunjungi rumah anggota
gereja di daerah Koha, simpatisan di Tateli, dan berakhir di rumah anggota di daerah
Malalayang. Di awali dengan mengunjungi rumah anggota di Koha, kemudian
dilanjutkan ke rumah simpatisan di Tateli. Dari Tateli kami mampir sebentar di
salah satu Kios Pisang Goreng di Malalayang. Saat yang menyenangkan untuk
melepas penat sejenak di kawasan Malalayang sambil menikmati hidangan pisang
goreng bersama mama, Elder Tate, dan Elder Budihardjo. Satu jam berlalu, kami
pun melanjutkan perjalanan ke rumah anggota di Malalayang.
Sepanjang perjalanan
saya berbincang dengan Elder Budihardjo. Saat kami tiba di jalan menanjak,
tiba-tiba handphone saya bergetar. Mengira saya mendapat SMS dari teman, dengan
tersenyum saya mulai membuka dan membaca isi SMS itu. Mendadak tubuh saya
terdiam, seakan disambar petir, ternyata SMS itu dari Tante Sylvia, "...Tante
Conny tadi sore meninggal dunia jam 4, saat ini jenazah sedang dimandikan
di Fatmawati, nanti dibawa ke rumah Bintaro". Kira-kira seperti itu SMS
yang saya baca. Spontan air mataku menetes di pipi. Lutut kaki saya seakan
lepas mengetahui Tante Conny telah meninggal, tubuh saya mendadak lemas dan
hampir jatuh. Tapi Elder Budihardjo memegang saya dengan kuat. Elder Budihardjo
agak berteriak memanggil rekannya, Elder Tate, untuk sejenak berhenti sambil
memberitahukan agar kunjungan ditunda dulu.
Mama memalingkan
tubuhnya dan dengan agak heran melihat saya menangis. Mama bertanya, "Ada
apa ?", lantas saya menjawabnya bahwa Tante Conny telah tiada. Saya pun
melihat mama meneteskan air matanya. Para misionaris menyarankan agar kunjungan
ditunda saja. Tapi kami tidak ingin hal itu ditunda, lanjutkan saja. Walaupun
dengan sedikit air mata di pipi, kami melanjutkan kunjungan kami.
Segera setelah kunjungan
selesai, saya dan mama langsung pulang ke rumah. Setibanya di rumah, suasana
rumah terasa begitu sepi. Sangat terasa aura duka yang kami alami, walaupun
Tante Conny berada di Jakarta. Papa dengan tegar terus melanjutkan aktivitasnya
sampai selesai. Dan setelah kami selesai dengan aktivitas kami masing-masing,
kami mengambil waktu berkumpul bersama. Terlihat jelas keresahan hati kami
semua nampak di wajah kami, terlebih papa, yang saat itu masih bingung
bagaimana cara mendapatkan uang agar kami bisa berangkat ke Jakarta.
Kami beriman bahwa Bapa
Surgawi akan membukakan jalan untuk kami. Saya segera mengecek jadwal
penerbangan untuk besok hari. Sementara itu Kloeman, adik saya, mengup-date
rencana keluarga di Jakarta mengenai pemakaman. Kabar yang kami terima
bahwa Tante Conny akan dimakamkan hari Jumat dan anak laki-lakinya yang kedua
akan tiba dari New Zealand pada kamis malam. Saya masuk ke dalam kamar dan
terlibat pembicaraan singkat dengan mama. "Saya punya simpanan 800 ribu
dan akan saya gunakan untuk membeli tiket, sisanya saya serahkan ke mama dan
papa".
Keesokan paginya saya
coba mengecek tabungan papa kalau-kalau ada sejumlah uang yang masih tersimpan.
Puji Tuhan, ada 2,2 juta rupiah yang bisa digunakan.untuk membeli tiket.
Sekarang ada 3 juta rupiah yang terkumpul. Kami masih harus menambah beberapa
ratus ribu lagi agar uangnya cukup untuk membeli tiket untuk empat orang. Saya
mengecek sekali lagi jadwal penerbangan hari itu dan tersisa 3 kali penerbangan
di hari itu, yaitu pada siang, malam pukul 6.55 dan malam pukul 8 dengan harga
tiket promo yang masih tersedia. Papa dan saya selanjutnya mencoba menghubungi
Oom Raymond di Buntong agar sekiranya bisa sedikit membantu. Kami pergi ke
rumahnya, namun hasilnya nihil.
Saya dan papa
melanjutkan perjalan kembali ke rumah. Di jalan saya menyarankan ke papa agar
kita segera ke Travel Agen untuk membeli tiket. Tiba di Travel Agen, papa
mengambil nomor antrian. Di rumah, mama menghubungi kakaknya agar bisa membantu
dia membeli tiket pesawat. Dan Tante Lena dengan ikhlas membantu. Mama
menerima uang yang ditransfer dan sekarang sudah ada cukup uang untuk membeli
tiket. Duduk dan menunggu beberapa saat di Travel Agen, kemudian saya menelepon
mama agar bisa membawa sejumlah uang agar bisa melunasi harga tiket untuk empat
orang. Melakukan reservasi tiket, Kloeman kemudian datang dan menyerahkan
sejumlah uang. Transaksi pembelian tiket selesai, tiket sudah kami peroleh, dan
kami akan berangkat pukul 6.55 malam itu. Beberapa saat kemudian kami melakukan
city check-in.
Setelah semua selesai,
Kloeman kembali ke kampus, saya dan papa melanjutkan perjalanan untuk mempersiapkan
beberapa hal penting yang harus diselesaikan sebelum kami ke Jakarta. Pukul 3
sore kami semua telah berada di rumah dan mulai mempersiapkan barang-barang
yang hendak kami bawa. Menitip rumah pada anak kos di rumah dan Kak Nita, kami
pun bersiap menuju bandara sambil menunggu taksi yang akan mengantar kami ke
sana.
(Papa, Kloeman, Mama, Saya sebelum menuju Bandara Sam Ratulangi Manado) |
Taksi jemputan kami
tiba, kami pamit pada Kak Iin dan menuju bandara. Sepanjang perjalanan, kami
memberitahukan rencana kami ke Jakarta pada Tante Selly di Kolongan. Keluarga
kami di Kolongan pun mendoakan perjalanan kami dan berdoa akan penghiburan
untuk kami keluarga. Tiba di Bandara Sam Ratulangi Manado, kami duduk
berdekatan sambil menunggu waktu untuk boarding. Sejam menunggu kami pun makan
malam sambil bergiliran menjaga barang bawaan kami.
Sambil menunggu di ruang keberangkatan, kami memastikan kedatangan kami
pada Kak Carll di Jakarta agar nanti bisa dijemput. Akhirnya waktu boarding tiba. Kami pun masuk pesawat dan
terbang ke Jakarta.
Cuaca malam itu kurang
cerah. Kami diminta untuk tetap memakai sabuk pengaman selama penerbangan. Satu
jam berlalu dari saat kami lepas landas dari Bandara Sam Ratulangi, tiba-tiba
pesawat kami berguncang sangat kuat. Rasanya sampai kami tidak merasakan lagi
bertumpu pada tempat duduk karena guncangan yang hebat saat itu. Seketika
suasana kabin pesawat jadi hingar bingar karena penumpang lainnya terkejut dan
mulai berdoa sesuai keyakinan mereka masing-masing. Menghilangkan rasa
takut saya saat itu, saya menggenggam erat tangan mama.
Tiga jam sepuluh menit
kamudian kami mendarat di Cengkareng, Bandara Soekarno Hatta. Waktu menunjukan
pukul 9 waktu Jakarta malam itu. Segera setelah keluar dari pesawat, saya
mengirimkan pesan pada Kak Carll memberi tahu bahwa kami sudah tiba di
Cengkareng. Keluar dari pintu 1A, kami disambut Kak Ale, sapaan hangat Kak
Carll, dengan senyuman, pelukan, dan ciuman khasnya. Kami berjalan bersama ke
parkiran mobil sambil Kak Ale memimpin di depan. Setelah Kak Ale mendapatkan
mobilnya, kami dipersilahkan masuk mobil. Kamipun bertolak keluar area bandara.
Menikmati hiruk pikuk
sekitar bandara melalui kaca jendela mobil, tiba-tiba Kak Ale menghentikan
mobilnya. Kami terjebak macet malam itu. Kak Ale menjelaskan bahwa tempat itu adalah
sebuah pasar, kalau malam orang-orang sibuk bongkar muat dagangan mereka
sehingga menyebabkan macet di jalan itu. Beberapa belas menit kemudian barulah
kami bisa keluar dari jebakan macet dan melanjutkan perjalanan. Di perjalanan, Kak
Ale menawarkan untuk mampir makan lebih dulu baru kita ke Bintaro. Semua
setuju. Kak Ale pun memacu mobilnya menuju salah satu tempat makan favoritnya.
“Yah, tutup”, keluh Kak
Ale saat melintas di depan tempat makan favoritnya. Tak kehilangan akal, Kak
Ale mencari tempat makan lainnya. Akhirnya kami mampir disalah satu KFC Serpong.
Kak Ale memesan beberapa paket makanan,
twistter dan beberapa cup coklat hangat. Makan malam bersama sambil berbagi
cerita dengan Kak Ale membuat kami lupa rasa lelah kami. Setelah kami makan,
kami segera melanjutkan perjalanan menuju rumah Tante Conny di Bintaro.
“Turn left”, bunyi GPS
milik Kak Ale memandu kami menuju rumah Tante Conny. Sebentar-sebentar GPS itu
berbunyi. Hampir 2 jam kami keliling-keliling akhirnya Kak Ale bisa menemukan
jalan yang dia kenal dan mengantar kami ke rumah Tante Conny.
Jam menunjukan pukul
11.55 saat itu. Kami turun dari mobil dan bersiap menemui Kak Aswin dan
keluarga yang saat itu masih di dalam rumah. Kami bersama-sama berjalan menuju
ke depan pintu rumah. Kami masuk dan segera disambut Kak Aswin dan
keluarganya. Pelukan tanda rindu dan simpati kami untuk Kak Aswin sepeninggal
Tante Conny, ibunya, kami tunjukan sambil bergantian. Kak Aswin, Kak Sissy, Kak
Aston, Glenn, dan Aldo secara bergiliran kami peluk. Setelah kami saling peluk, saya bergegas melihat jenazah Tante Conny yang ada di ruangan itu.
(Peti jenazah Tante Conny) |
Mata saya memerah dan air mata saya pun tertahan. Saya teringat saat-saat bersama Tante Conny beberapa tahun lalu. Merasa cukup melihat jenazah Tante Conny saya duduk bersama keluarga yang lain sambil mendengarkan Kak Aswin mengisahkan saat-saat Tante Conny menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kak Ale pun pamit dan pulang ke rumahnya di bilangan BSD.
Cukup berbincang, Kak Aswin dan Kak Aston beranjak dari tempat duduk mereka dan mulai mempersiapkan kamar untuk kami istirahat. Saya membantu mereka mengangkat kasur. Setelah kamar siap kami pun memindahkan barang-barang bawaan kami ke kamar. Kak Aswin dan yang lain mulai siap-siap untuk kembali ke rumah mereka yang tidak jauh dari rumah Tante Conny hanya selisih beberapa rumah saja. Kak Sissy kemudian memastikan semua pintu terkunci sambil menitipkan rumah ke mama.
Masih sibuk mengatur tas ransel saya, Kak Aston kembali ke rumah. Dia berdiri dan menatap tajam jenazah ibunya. Saya melihat dia meneteskan air mata. Kak Aston mencoba untuk kuat melepas kepergian ibunya. Beberapa saat berdiri di samping peti jenazah ibunya, Kak Aston beranjak dari tempat itu mengambil koper bawaannya dan kembali ke rumah Kak Aswin.
(Kak Aston menatap jenazah ibunya) |
Sulit rasanya untuk tidur malam itu. Saya pun mendekat ke samping peti jenazah. Sambil menatap dan membelai jenazah Tante Conny, saya mengingat kembali kunjungan Tante Conny ke rumah kami pada 2009 lalu. Dia seorang nenek yang energik, pikir saya. Beberapa saat kemudian mama mendekat dan saya meminta dia untuk bisa membantu saya mengambil gambar bersama Tante Conny untuk terakhir kali sebelum jenazahnya dimakamkan besok. Dengan senang hati mama membantu saya dan secara bergiliran kami mengambil gambar satu sama lain.
(Peti jenazah Tante Conny) |
(Ciuman terakhir untuk Tante Conny) |
(Ciuman terakhir untuk Zus Conny, kakak ipar terkasih) |
Saya masih sibuk mengambil beberapa gambar lagi, mama kemudian masuk ke kamar dan beristirahat. Merasa cukup untuk mengambil beberapa gambar, saya mulai mengambil posisi untuk tidur di sofa ruang tamu. Saya menutup mata mencoba untuk tidur. Tapi saya tetap terjaga. Mata terpejam tapi tak bisa tidur. Sesekali gonggongan anjing tetangga membangunkan saya. Beberapa jam kemudian saya beranjak dari sofa tempat saya merebahkan tubuh. Kembali menengok peti jenazah Tante Conny beberapa saat, lalu saya pergi ke luar rumah dan membersihkan sekitaran tenda tempat untuk diadakan kebaktian pemakaman nanti.
Saat saya sedang menyapu sendirian, tiba-tiba ada suara yang sangat mengagetkan saya. Gonggongan anjing tetangga. Acuh dengan keributan anjing itu, saya tetap melanjutkan bersih-bersih tenda. Merasa sudah cukup bersih, saya kembali ke
dalam rumah dan sedikit beres-beres lagi di sekitaran peti jenazah.
Mama bangun dan mulai
beres-beres juga. Kloeman bangun dan segera mandi pagi itu. Selesai mandi dia
mendekati peti jenazah dan ikut mengambil foto bersama jenazah Tante Conny.
(Kloeman berfoto dengan Tante Conny) |
Kami pun segera
bersiap-siap pagi itu untuk acara kebaktian pemakaman Tante Conny. Dengan
setelan baju hitam, saya, papa, Kloeman, dan mama siap untuk mengikuti
kebaktian pemakaman. Saya meminta papa pagi itu untuk mendekat ke peti jenazah
dan juga mengambil gambar dengan jenazah Tante Conny, kakak tertuanya. Pagi itu
juga banyak tetangga Tante Conny datang secara khusus untuk memberikan penghormatan
terakhir untuknya.
(Papa menatap jenazah kakaknya) |
Seorang perempuan yang
membantu mengurus Tante Conny selama dia sakit datang mendekat di samping peti
jenazah. Dia membuka kain tile, kain penutup peti jenazah, dan berbisik pada
jenazah, “Bu, saya pamit dulu yah balik ke Bogor”. Sesaat kemudian dia mencium
dahi jenazah Tante Conny sambil berderai air mata.
 |
(Perempuan ini mencium Tante Conny, tanda perpisahan) |
Kak Aswin sekeluarga dan
Kak Aston tiba di rumah. Mereka mulai sibuk mempersiapkan hal-hal yang
dibutuhkan untuk kebaktian pemakaman hari itu. Beberapa saat kemudian Tante
Sylvia, Kak Ale, dan Kak Irma, isrti Kak Ale tiba di rumah Tante Conny. Saya
menyambut kedatangan mereka sambil memeluk dan mencium mereka bergiliran.
Berbincang sebentar,
kemudian saya masuk kembali ke dalam rumah. Saat itu kami membawa titipan untuk
keluarga Simanungkalit di Jakarta. Setelah menghubungi Elder Simanungkalit di
Manado, kami menunggu kedatangan adiknya untuk mengambil titipan itu. Agak lama
menunggu, Lyon, adik Elder Simanungkalit pun datang. Kami terlibat pembicaraan
cukup lama dengan Lyon. Beberapa saat kemudian saya mengajaknya untuk foto
bersama. Kami berbincang kembali dan Lyon saya ajak untuk menengok ke dalam.
Dia mengiyakan ajakan saya. Kemudian setelah beberapa saat menengok di dalam,
Lyon keluar dan segera pamit. Tante Sylvia mendekat sejenak di samping peti jenazah dan kembali
menatap wajah kakaknya yang telah terbujur kaku.
 |
(Lyon berfoto bersama saya dan Kloeman) |
(Lyon berfoto bersama papa dan mama) |
(Lyon menengok jenazah Tante Conny) |
 |
(Tante Sylvia menatap jenazah kakaknya) |
Kami keluarga kembali
bersiap-siap untuk kebaktian pemakaman. Para kerabat dan keluarga yang lain datang. Di saat yanag
hampir bersamaan, majelis Gereja Filadelfia datang. Mereka mempersiapkan
kebaktian pemakamannya. Dan setelah siap, kebaktian pemakaman pun dimulai.
(Foto bersama keluarga sebelum kebaktian dimulai) |
(Foto bersama Kak Aswin sekeluarga sebelum kebaktian dimulai) |
Nyanyian dan doa kami
panjatkan saat itu. Khotbah pemimpin kebaktian pemakaman menghibur keluarga
yang berduka. Dalam hati saya, saya bersyukur bahwa Tante Conny bisa terbebas
dari penderitaannya, saya juga bersyukur memiliki seorang tante yang baik dan
mengasihi saya. Yang menguatkan saya adalah bahwa saya telah mengenal Injil
yang Dipulihkan. Melalui rencana keselamatan yang Bapa Surgawi sediakan, saya
tahu Tante Conny sekarang berada di sana, di tempat yang telah Bapa Surgawi
sediakan. Dalam kebaktian pemakaman, papa diberi kesempatan untuk membawakan sambutan mewakili keluarga.
 |
(Papa membawakan sambutan mewakili keluarga) |
(Para pelayat dan keluarga besar Oom Lym, suami Tante Conny) |
Kebaktian pemakaman
selesai, para pelayat diberikan kesempatan untuk memberikan penghormatan
terakhir untuk Tante Conny. Dimulai dari
anak-anak, Kak Aswin dan Istri, cucu-cucu, Aldo dan Glen, dan Kak Aswin. Kemudian
para pelayat mendapat giliran. Ada yang sekedar melihat, ada yang menaburkan
bunga, ada yang membubuhkan parfum ke dalam peti jenazah. Saat saya mendapat
giliran, saya tak kuasa lagi membendung air mata. Saya menangis terisak. Papa,
mama dan Kloeman pun meneteskan air mata saat itu. Tapi saya kagum pada Tante
Sylvia, dia benar-benar tegar. Tak terlihat dia meneteskan air mata setetes
pun.
Semua telah mendapat
giliran. Sebelum peti jenazah ditutup, Kak Aswin bertanya, “Oom Jeames, Tante
Syl, kita tutup petinya sekarang yah ?”. Mendapat persetujuan
papa dan Tante Sylvia, peti jenazah kemudian ditutup. Peti jenazah diangkat,
diarak keluar rumah dan langsung dimasukan ke dalam mobil jenazah. Para pelayat
lain dan keluarga segera menyiapkan mobil masing-masing untuk ke Tanah Kusir,
tempat Tante Conny akan dimakamkan. Setelah mobil jenazah mulai mengarah ke
Tanah Kusir, satu persatu pelayat mulai mengikuti dari belakang. Kak Aswin dan keluarga mengikuti dari belakang
rombongan. Kak Ale dan kami pun mengikuti mobil Kak Aswin dari belakang.
 |
(Peti jenazah di dalam mobil jenazah) |
Di perjalanan kami
mengontak Tante Lotje memberi tahu rencana pemakaman Tante Conny. Tidak sampai
satu jam kami akhirnya tiba di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir. Turun dari
mobil dan terus mengambil gambar, saya dengan cepat bergegas ke lokasi di mana
Tante Conny akan dimakamkan. Ternyata Tante Conny dimakamkan di makam suaminya,
Oom Lym, yang meninggal beberapa tahun lalu.
Peti jenazah diletakkan
tepat di atas lubang makam. Sebelum kebaktian pemakaman dilanjutkan keluarga
Kak Aswin dipersilahkan untuk mengabadikan beberapa gambar di dekat peti
jenazah Tante Conny. Kebaktian pemakaman pun dilanjutkan. Kembali mengambil
beberapa gambar, saya terkejut sekaligus senang ketika melihat Tante Lotje dan
Oom Freddy, suaminya, hadir dalam kebaktian pemakaman. Masih dalam rangkaian
kebaktian pemakaman, akhirnya peti jenazah dimasukan ke dalam lubang makam. Para
petugas pun segera melaksanakan tugas mereka. Sambil menunggu para petugas
mengatur peti jenazah di dalam lubang makam, kami dituntun untuk menyanyikan
lagu oleh pemimpin kebaktian.
 |
(Peti jenazah diletakan di atas lubang makam) |
 |
(Kak Aswin dan keluarga foto bersama di samping peti jenazah) |
|
 |
(Peti jenazah dimasukan ke lubang makam) |
 |
(Sedih namun berusaha untuk tetap tegar) |
Kebaktian pemakaman
berlanjut. Tiba saatnya untuk keluarga dan pelayat untuk menabur bunga dan
minyak wangi ke dalam makam. Diawali oleh keluarga kemudian para pelayat
mendapat gilirannya. Setelah acara menaburkan bunga dalam lubang makam selesai,
petugas makam pun mulai menutup lubang makam. Sedikit demi sedikit tanah dimasukan
menutupi peti jenazah. Akhirnya lubang makam telah tertutup semuanya. Para petugas
makam merapikan tanah di atasnya. Acara kembali dilanjutkan dengan penaburan
bunga di atas makam. Seperti biasa, keluarga mendapat bagian pertama. Diawali oleh
Kak Aswin, diikuti Kak Sissy, istrinya, kemudian anak-anak, Aldo dan Glen,
dilanjutkan oleh Kak Aston. Pelayat dan lainnya dipersilahkan kemudian. Menutup
kebaktian pemakaman, Kak Aswin menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada semua
pihak yang telah membantu mereka sampai pemakaman ibu mereka bisa terlaksana
dengan baik.
 |
(Taburan bunga di atas peti jenazah) |
 |
(Peti jenazah mulai tertutup tanah) |
 |
(Makam Tante Conny selesai ditimbun) |
 |
(Taburan bunga di atas makam Tante Conny dan Oom Lym) |
 |
(Kak Aswin menyampaikan ucapan terima kasih) |
Setelah itu para pelayat
mulai membubarkan diri dan keluarga pun mengambil posisi dekat makam dan
mengabadikannya dalam beberapa foto. Pemakaman Tante Conny selesai, kami
kembali ke mobil dan makan siang bersama dengan keluarga yang lainnya.
 |
(Tante Sylvia, Saya, Kloeman, Mama, Papa, Kak Irma) |
 |
(Glen, Tante Sylvia, Saya, Kloeman, Papa, Mama, Kak Irma, Tante Lotje) |
 |
(Tante Sylvia, Saya, Kloeman, Papa, Mama, Kak Irma, Tante Lotje, Kak Aston) |
 |
(Rest In Peace) |
 |
(Tante Sylvia, Papa, Aldo, Kak Sissy, Kak Aswin, Kak Aston, Glen) |
 |
(Aldo, Kak Sissy, Kak Aswin, Kak Aston, Glen) |
 |
(Tante Sylvia dan Papa) |
 |
(Saya, Kloeman, Kak Ale, Aldo, Glen) |
 |
(Kak Aston, Kak Aswin, Kak Sissy, Saya, Kloeman)
|
 |
(Kak Aston, Kak Aswin, Kak Sissy, Kloeman, Saya, Kak Ale) |
 |
(Conny Ellen Lang, 2007) |
|
Tante Conny, kami mencintaimu.
Sampai kita bertemu lagi. Saya tahu bahwa keluarga dapat kekal selamanya, kita
bisa dikumpulkan dan dipertemukan kembali dengan mereka yang telah meninggal
dunia. Kematian bukan akhir dari segalanya. Itu adalah cara untuk menuju
kekekalan. Kita bisa berkata “Selamat Tinggal”. Tapi ini tidak untuk selamanya.
Karena Keluarga Dapat Kekal Selamanya. Inilah Injil yang Dipulihkan itu. Saya
tahu Bapa Surgawi mengasihi kita semua, putera dan puteri-Nya. Saya sampaikan
ini dalam nama Yesus Kristus. Amin.