Kamis, 15 Agustus 2013

Merpatiku

Hari ini ku menanti merpatiku datang..
Penuh harap..
Kegembiraan terpendam..
Senyum penuh ketidakpastian..

Sesaat resahku hilang..
Gembiraku meluap-luap..
Hampir aku tak bisa berkata-kata..
Ketika ia datang..
Merpatiku..

Bahagiaku tumpah ruah..
Walaupun kami tak sempat bermain lagi..

Aku teringat saat-saat bersama dengannya dahulu..
Bercanda..
Tawa..
Saat-saat yang sulit ku lupakan..

Terkadang dalam perjumpaan kami..
Merpati itu meninggalkan tanda..
Tanda yang mengingatkan ku pada dirinya selalu..
Walau tanda itu akan pudar dimakan waktu..

September 14th, 2009
By Sergeyenev M. L.

Senin, 10 Juni 2013

Riwayat hidup Oom Max

Dibacakan pada saat Ibadah Pemakaman Oom Max oleh Sergeyenev M. Lang


Nama : Jan Maximiliaan LANG
Lahir di Manado pada 31 Agustus 1939

Anak dari pasangan Carel LANG (Alm.) dan Tinepikan Everhardina GIMON (Almh.)

Carel LANG

Tinepikan Everhardina GIMON
Anak ke-3 dari 4 bersaudara :

1. Conny Ellen LANG (Kel. PALENDENG – LANG)
2. Elvire Sylvia LANG (Kel. HAMZENS - LANG)

3. Jan Maximiliaan LANG (Alm.)
4. Jeames Steve LANG (Kel. LANG – SAHABAT)

(Conny, Sylvia, Max dan Jeames. Palu, 27 Januari 2009)

Masuk OLS (Openbare Lagere School).
Selanjutnya masuk dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Rakyat GMIM II pada 26 Juni 1954.
Melanjutkan pendidikan selanjutnya di SMP Kristen Tikala
Kemudian masuk SMA Peralihan (tidak selesai)




Oom Max pernah aktif sebagai anggota CTP (Coorps Tentara Pelajar), PERMESTA.

Akibat pergolakan PERMESTA, Oom Max yang terlibat dalam aktivitas CTP mengalami gangguan memori ingatan, disebabkan bentrok fisik dengan satuan lain dalam PERMESTA. Sejak saat itu, menjalani perawatan di RSJ. Sario, Manado. Selanjutnya, menjalani perawatan di Palu sejak tahun 1983 – 2009 dalam pengawasan Elvire Sylvia LANG.



Bulan Oktober 2008, Oom Max menjalani operasi katarak di Palu.

Pada 12 Mei 2009, Oom Max mengalami kecelakaan di Palu. Kemudian dirujuk ke Manado dan menjalani amputasi serta perawatan medis sejak 14 Mei 2009 sampai 19 Juni 2009 di RSUP Prof. dr. R. D. Kandou, Malalayang.
(Rawat jalan. 7 Juni 2009, RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Malalayang)

Pada 31 Agustus 2011, Oom Max merayakan Hari Ulang Tahun-nya yang ke-72 tahun bersama dengan rukun Puyun Ni Tete Jan Paul GIMON. Inilah saat terakhir Oom Max berkumpul dengan keluarga besar GIMON.
(Oom Max memasang lilin ulang tahunnya, 31 Agustus 2011)

(Foto bersama. Berdiri : Elder Brown, Elder Go, Elder Marijanto, Papa, Elder Johnson, Mama, Kloeman. Duduk : Tante Sylvia dan Oom Max, 31 Agustus 2011),

(Foto bersama. Berdiri : Elder Brown, Elder Go, Elder Marijanto, Papa, Elder Johnson, Mama, Saya. Duduk : Tante Sylvia dan Oom Max, 31 Agustus 2011)

Sabtu 04 Februari 2012, pukul 15.30 WITA, dalam istirahatnya, Oom Max dipanggil pulang menghadap Sang Pencipta dalam usia 72 tahun 5 bulan 3 hari.
(04 Februari 2012)






Selamat Jalan Adik, Kakak, Oom, Opa Max Tercinta. Sampai kita berjumpa lagi di kehidupan kekal.

Minggu, 09 Juni 2013

Ceramah 9 Juni 2013

Selamat pagi Brother dan Sister,
Senang sekali saya mendapat giliran untuk membawakan ceramah pada hari ini. Dan tema ceramah saya adalah :
Pekerjaan Sejarah Keluarga
            Sewaktu saya SMP, adalah hal yang menyenangkan jika saya bertanya kepada orang tua saya mencari tahu mengenai kakek dan nenek saya. Mulai dari hal kecil inilah, maka muncul keinginan untuk mencari tahu lebih banyak informasi mengenai mereka. Tidak hanya sampai pada kakek dan nenek saja, saya bahkan mulai mencari tahu siapa orang tua mereka dan seterusnya. Sayapun mulai untuk menuliskan nama-nama mereka dalam bentuk bagan pohon keluarga. Beberapa tahun kemudian, saya mulai diizinkan papa untuk membuat salinan beberapa dokumen keluarga yang berisikan nama kakek dan nenek bahkan orang tua mereka. Hal ini pun terus berlanjut dan menjadi hobi saya.
            Ditahun-tahun selanjutnya saya mulai tahu menggunakan fasilitas internet. Mulai dari sekedar mencoba apakah di sana sudah ada informasi tentang leluhur saya, saya menemukan website yang ternyata memang benar berisikan informasi yang saya cari. Saat itu kendala yang saya hadapi adalah bahasa yang digunakan dalam website itu ternyata berbahasa Belanda. Tidak berputus asa dengan kendala yang saya hadapi, saya mencoba bertanya kepada papa agar bisa membantu untuk sedikit menerjemahkannya. Akhirnya informasi yang saya cari bisa saya temukan lewat bantuan papa. Saya juga bertanya pada mama mengenai orang tuanya. Namun karena keterbatasan sumber informasi, maka tidak banyak informasi yang bisa saya dapatkan.
            Beberapa tahun kemudian keluarga kami dikenalkan dengan Injil yang Dipulihkan. Singkat cerita kami belajar bersama misionaris, dibaptiskan, dan menjadi anggota Gereja. Suatu pelajaran yang mengesankan saya adalah mengenai pekerjaan keselamatan bagi mereka yang telah meninggal. Melalui Pemulihan Injil yang kami terima, kami tahu bahwa hal-hal ini telah dipulihkan melalui Nabi Joseph Smith.
Dalam Kitab Maleakhi 4 : 5 – 6, dijanjikan mengenai kedatangan Elia menjelang datangnya hari Tuhan yang besar dan dahsyat. Di mana Elia akan membalikkan hati bapa-bapa kepada anak-anaknya, dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya. Pada 3 April 1836 di Bait Suci Kirtland, sesuai yang dijanjikankan oleh Maleakhi, Elia datang mengunjungi Nabi Joseph Smith dan mempercayakan kunci-kunci pemeteraian ini kepadanya. (Ajaran dan Perjanjian 110 : 13 – 16).
Suatu kebetulan yang luar biasa bahwa hal kecil yang telah saya lakukan untuk mengenal para leluhur ternyata bermanfaat, bukan hanya sebagai suatu koleksi dalam keluarga. Tapi mereka berkesempatan untuk menerima tata cara keselamatan di Bait Suci.
Melakukan penelitian sejarah keluarga tidaklah mudah. Kita harus bersabar dalam melakukannya, kita harus banyak melakukan pengorbanan, dan jangan berputus asa. Pekerjaan sejarah keluarga, apabila kita lakukan dengan sungguh-sungguh, pastilah tidak akan sia-sia.
Pada bulan April yang lalu, kami berkesempatan untuk mengunjungi Bait Suci. Persiapan yang kami lakukan telah dimulai beberapa bulan sebelumnya. Salah satunya yang kami persiapkan adalah nama-nama leluhur yang namanya akan kami bawa ke Bait Suci untuk menerima tata cara perwakilan di sana. Sister Rasband membantu saya dalam mempersiapkannya. Saya sangat senang dapat bekerja sama dengan Sister Rasband dalam mempersiapkan hal-hal ini. Tidak saja terhadap keluarga saya, tapi juga dengan keluarga yang lain yang termasuk dalam group pada waktu itu.
            Tiba di Bait Suci, akhirnya kami mulai melakukan tata cara untuk nama-nama leluhur yang telah dipersiapkan. Ada perasaan bahagia ketika dengan pasti saya tahu bahwa tata cara keselamatan untuk leluhur saya telah dilakukan. Segala usaha dan pengorbanan yang dilakukan akhirnya seperti telah terbayarkan. Tidak dapat saya gambarkan bagaimana rasa bahagia yang saya rasakan.
            Kemarin, setelah kami kembali dari pemakaman salah seorang keluarga, kami mengunjungi rumah seorang nenek. Dia akrab disapa “Oma Helena”. Oma Helena berumur 83 tahun dengan keterbatasan yang dia miliki. Saat saya bertemu dengannya, saya memeluk dan mencium dia. Saya belum mengenal baik Oma Helena, tapi saat saya bertemu dengannya, saya membisikkan, “Oma, saya cucu dari Carel Lang”. Dengan suara agak bergetar dan gerakan yang agak lambat dia membalas pelukan saya saat itu. Terlihat jelas rasa senang yang dia rasakan sampai-sampai dia mengeluarkan air mata. Oma Helena mengenal Opa saya jauh sebelum saya lahir. Dia menceritakan sedikit pengalaman dia saat bertemu dengan Opa dan keluarganya.
(Papa, Mama, Kloeman, Marini Rempowatu, dan Oma Helena Lang)

(Papa, Kloeman, Marini Rempowatu, dan Oma Helena Lang)
            Peristiwa itu mungkin sedikit menggambarkan bagaimana kebahagiaan orang tua ketika dikunjungi cucunya. Walaupun Oma Helena bukan nenek biologis saya. Tapi lewat peristiwa ini, saya membayangkan leluhur saya yang berada di Dunia Roh berbahagia ketika saya berusaha mengenali mereka, terlebih lagi mereka bisa menerima tata cara keselamatan di Bait Suci. Oma Helena yang masih hidup pun sangat senang ketika dikunjungi, apalagi opa dan oma saya yang tidak pernah saya jumpai, tapi lewat usaha saya mereka bisa memperoleh tata cara keselamatan. Terkadang mereka seolah-olah berbisik dan mengucapkan terima kasih untuk saya.
            Brother dan Sister, pekerjaan sejarah keluarga adalah penting untuk kita lakukan. Kita ada karena leluhur kita lebih dulu ada, dan tanpa kita mereka tidak bisa menerima tata cara keselamatan. Mungkin akan ada banyak tantangan saat mulai melakukannya. Tapi mintalah pertolongan dari Bapa Surgawi kita, maka segala sesuatu akan diberikan sesuai kehendak-Nya.
Saya bersaksi bahwa Bapa Surgawi akan memberkati kita dengan berkat-berkat yang kita butuhkan atas usaha dan pengorbanan yang kita lakukan, mulai dari mengumpulkan informasi tentang leluhur kita, sampai ketika kita melakukan tata cara keselamatan untuk mereka di Bait Suci. Saya bersyukur mendapat kesempatan untuk mengenal Injil yang dipulihkan ini. Saya bersyukur bahwa Joseph Smith dipanggil sebagai Nabi untuk memulihkan Gereja di zaman akhir ini. Saya bersyukur untuk Tulisan Suci yang adalah Firman Allah. Saya bersyukur untuk keluarga yang saya miliki. Saya bersyukur atas pekerjaan misi yang ada di seluruh dunia, khususnya di Manado. Saya bersyukur bahwa kita memiliki Presiden Thomas S. Monson sebagai Nabi kita yang hidup. Saya percaya yang saya bagikan ini adalah benar. Dalam nama Yesus Kristus. Amin.

Selasa, 04 Juni 2013

Selamat Jalan Tante Conny

(Conny Ellen Lang sewaktu muda)
Hari itu Rabu, 10 Mei 2013. Seperti biasa, saya dan ibu saya menemani para misionaris mengunjungi rumah simpatisan dan anggota gereja. Saat itu kami mengunjungi rumah anggota gereja di daerah Koha, simpatisan di Tateli, dan berakhir di rumah anggota di daerah Malalayang. Di awali dengan mengunjungi rumah anggota di Koha, kemudian dilanjutkan ke rumah simpatisan di Tateli. Dari Tateli kami mampir sebentar di salah satu Kios Pisang Goreng di Malalayang. Saat yang menyenangkan untuk melepas penat sejenak di kawasan Malalayang sambil menikmati hidangan pisang goreng bersama mama, Elder Tate, dan Elder Budihardjo. Satu jam berlalu, kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah anggota di Malalayang.
Sepanjang perjalanan saya berbincang dengan Elder Budihardjo. Saat kami tiba di jalan menanjak, tiba-tiba handphone saya bergetar. Mengira saya mendapat SMS dari teman, dengan tersenyum saya mulai membuka dan membaca isi SMS itu. Mendadak tubuh saya terdiam, seakan disambar petir, ternyata SMS itu dari Tante Sylvia, "...Tante Conny tadi sore meninggal dunia jam 4, saat ini jenazah sedang dimandikan di Fatmawati, nanti dibawa ke rumah Bintaro". Kira-kira seperti itu SMS yang saya baca. Spontan air mataku menetes di pipi. Lutut kaki saya seakan lepas mengetahui Tante Conny telah meninggal, tubuh saya mendadak lemas dan hampir jatuh. Tapi Elder Budihardjo memegang saya dengan kuat. Elder Budihardjo agak berteriak memanggil rekannya, Elder Tate, untuk sejenak berhenti sambil memberitahukan agar kunjungan ditunda dulu.
Mama memalingkan tubuhnya dan dengan agak heran melihat saya menangis. Mama bertanya, "Ada apa ?", lantas saya menjawabnya bahwa Tante Conny telah tiada. Saya pun melihat mama meneteskan air matanya. Para misionaris menyarankan agar kunjungan ditunda saja. Tapi kami tidak ingin hal itu ditunda, lanjutkan saja. Walaupun dengan sedikit air mata di pipi, kami melanjutkan kunjungan kami.
Segera setelah kunjungan selesai, saya dan mama langsung pulang ke rumah. Setibanya di rumah, suasana rumah terasa begitu sepi. Sangat terasa aura duka yang kami alami, walaupun Tante Conny berada di Jakarta. Papa dengan tegar terus melanjutkan aktivitasnya sampai selesai. Dan setelah kami selesai dengan aktivitas kami masing-masing, kami mengambil waktu berkumpul bersama. Terlihat jelas keresahan hati kami semua nampak di wajah kami, terlebih papa, yang saat itu masih bingung bagaimana cara mendapatkan uang agar kami bisa berangkat ke Jakarta.
Kami beriman bahwa Bapa Surgawi akan membukakan jalan untuk kami. Saya segera mengecek jadwal penerbangan untuk besok hari. Sementara itu Kloeman, adik saya, mengup-date rencana keluarga di Jakarta  mengenai pemakaman. Kabar yang kami terima bahwa Tante Conny akan dimakamkan hari Jumat dan anak laki-lakinya yang kedua akan tiba dari New Zealand pada kamis malam. Saya masuk ke dalam kamar dan terlibat pembicaraan singkat dengan mama. "Saya punya simpanan 800 ribu dan akan saya gunakan untuk membeli tiket, sisanya saya serahkan ke mama dan papa".
Keesokan paginya saya coba mengecek tabungan papa kalau-kalau ada sejumlah uang yang masih tersimpan. Puji Tuhan, ada 2,2 juta rupiah yang bisa digunakan.untuk membeli tiket. Sekarang ada 3 juta rupiah yang terkumpul. Kami masih harus menambah beberapa ratus ribu lagi agar uangnya cukup untuk membeli tiket untuk empat orang. Saya mengecek sekali lagi jadwal penerbangan hari itu dan tersisa 3 kali penerbangan di hari itu, yaitu pada siang, malam pukul 6.55 dan malam pukul 8 dengan harga tiket promo yang masih tersedia. Papa dan saya selanjutnya mencoba menghubungi Oom Raymond di Buntong agar sekiranya bisa sedikit membantu. Kami pergi ke rumahnya, namun hasilnya nihil.
Saya dan papa melanjutkan perjalan kembali ke rumah. Di jalan saya menyarankan ke papa agar kita segera ke Travel Agen untuk membeli tiket. Tiba di Travel Agen, papa mengambil nomor antrian. Di rumah, mama menghubungi kakaknya agar bisa membantu dia membeli tiket pesawat. Dan Tante Lena dengan ikhlas  membantu. Mama menerima uang yang ditransfer dan sekarang sudah ada cukup uang untuk membeli tiket. Duduk dan menunggu beberapa saat di Travel Agen, kemudian saya menelepon mama agar bisa membawa sejumlah uang agar bisa melunasi harga tiket untuk empat orang. Melakukan reservasi tiket, Kloeman kemudian datang dan menyerahkan sejumlah uang. Transaksi pembelian tiket selesai, tiket sudah kami peroleh, dan kami akan berangkat pukul 6.55 malam itu. Beberapa saat kemudian kami melakukan city check-in.
Setelah semua selesai, Kloeman kembali ke kampus, saya dan papa melanjutkan perjalanan untuk mempersiapkan beberapa hal penting yang harus diselesaikan sebelum kami ke Jakarta. Pukul 3 sore kami semua telah berada di rumah dan mulai mempersiapkan barang-barang yang hendak kami bawa. Menitip rumah pada anak kos di rumah dan Kak Nita, kami pun bersiap menuju bandara sambil menunggu taksi yang akan mengantar kami ke sana.

(Papa, Kloeman, Mama, Saya sebelum menuju Bandara Sam Ratulangi Manado)
Taksi jemputan kami tiba, kami pamit pada Kak Iin dan menuju bandara. Sepanjang perjalanan, kami memberitahukan rencana kami ke Jakarta pada Tante Selly di Kolongan. Keluarga kami di Kolongan pun mendoakan perjalanan kami dan berdoa akan penghiburan untuk kami keluarga. Tiba di Bandara Sam Ratulangi Manado, kami duduk berdekatan sambil menunggu waktu untuk boarding. Sejam menunggu kami pun makan malam sambil bergiliran menjaga barang bawaan kami.

Sambil menunggu di ruang keberangkatan, kami memastikan kedatangan kami pada Kak Carll di Jakarta agar nanti bisa dijemput. Akhirnya waktu boarding tiba. Kami pun masuk pesawat dan terbang ke Jakarta.

Cuaca malam itu kurang cerah. Kami diminta untuk tetap memakai sabuk pengaman selama penerbangan. Satu jam berlalu dari saat kami lepas landas dari Bandara Sam Ratulangi, tiba-tiba pesawat kami berguncang sangat kuat. Rasanya sampai kami tidak merasakan lagi bertumpu pada tempat duduk karena guncangan yang hebat saat itu. Seketika suasana kabin pesawat jadi hingar bingar karena penumpang lainnya terkejut dan mulai berdoa sesuai keyakinan mereka masing-masing. Menghilangkan rasa takut saya saat itu, saya menggenggam erat tangan mama.

Tiga jam sepuluh menit kamudian kami mendarat di Cengkareng, Bandara Soekarno Hatta. Waktu menunjukan pukul  9 waktu Jakarta malam itu. Segera setelah keluar dari pesawat, saya mengirimkan pesan pada Kak Carll memberi tahu bahwa kami sudah tiba di Cengkareng. Keluar dari pintu 1A, kami disambut Kak Ale, sapaan hangat Kak Carll, dengan senyuman, pelukan, dan ciuman khasnya. Kami berjalan bersama ke parkiran mobil sambil Kak Ale memimpin di depan. Setelah Kak Ale mendapatkan mobilnya, kami dipersilahkan masuk mobil. Kamipun bertolak keluar area bandara.

Menikmati hiruk pikuk sekitar bandara melalui kaca jendela mobil, tiba-tiba Kak Ale menghentikan mobilnya. Kami terjebak macet malam itu. Kak Ale menjelaskan bahwa tempat itu adalah sebuah pasar, kalau malam orang-orang sibuk bongkar muat dagangan mereka sehingga menyebabkan macet di jalan itu. Beberapa belas menit kemudian barulah kami bisa keluar dari jebakan macet dan melanjutkan perjalanan. Di perjalanan, Kak Ale menawarkan untuk mampir makan lebih dulu baru kita ke Bintaro. Semua setuju. Kak Ale pun memacu mobilnya menuju salah satu tempat makan favoritnya.

“Yah, tutup”, keluh Kak Ale saat melintas di depan tempat makan favoritnya. Tak kehilangan akal, Kak Ale mencari tempat makan lainnya. Akhirnya kami mampir disalah satu KFC Serpong. Kak  Ale memesan beberapa paket makanan, twistter dan beberapa cup coklat hangat. Makan malam bersama sambil berbagi cerita dengan Kak Ale membuat kami lupa rasa lelah kami. Setelah kami makan, kami segera melanjutkan perjalanan menuju rumah Tante Conny di Bintaro.

“Turn left”, bunyi GPS milik Kak Ale memandu kami menuju rumah Tante Conny. Sebentar-sebentar GPS itu berbunyi. Hampir 2 jam kami keliling-keliling akhirnya Kak Ale bisa menemukan jalan yang dia kenal dan mengantar kami ke rumah Tante Conny.

Jam menunjukan pukul 11.55 saat itu. Kami turun dari mobil dan bersiap menemui Kak Aswin dan keluarga yang saat itu masih di dalam rumah. Kami bersama-sama berjalan menuju ke depan pintu rumah. Kami masuk dan segera disambut Kak Aswin dan keluarganya. Pelukan tanda rindu dan simpati kami untuk Kak Aswin sepeninggal Tante Conny, ibunya, kami tunjukan sambil bergantian. Kak Aswin, Kak Sissy, Kak Aston, Glenn, dan Aldo secara bergiliran kami peluk. Setelah kami saling peluk, saya bergegas melihat jenazah Tante Conny yang ada di ruangan itu.

(Peti jenazah Tante Conny)
Mata saya memerah dan air mata saya pun tertahan. Saya teringat saat-saat bersama Tante Conny beberapa tahun lalu. Merasa cukup melihat jenazah Tante Conny saya duduk bersama keluarga yang lain sambil mendengarkan Kak Aswin mengisahkan saat-saat Tante Conny menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kak Ale pun pamit dan pulang ke rumahnya di bilangan BSD.

Cukup berbincang, Kak Aswin dan Kak Aston beranjak dari tempat duduk mereka dan mulai mempersiapkan kamar untuk kami istirahat. Saya membantu mereka mengangkat kasur. Setelah kamar siap kami pun memindahkan barang-barang bawaan kami ke kamar. Kak Aswin dan yang lain mulai siap-siap untuk kembali ke rumah mereka yang tidak jauh dari rumah Tante Conny hanya selisih beberapa rumah saja. Kak Sissy kemudian memastikan semua pintu terkunci sambil menitipkan rumah ke mama.

Masih sibuk mengatur tas ransel saya, Kak Aston kembali ke rumah. Dia berdiri dan menatap tajam jenazah ibunya. Saya melihat dia meneteskan air mata. Kak Aston mencoba untuk kuat melepas kepergian ibunya. Beberapa saat berdiri di samping peti jenazah ibunya, Kak Aston beranjak dari tempat itu mengambil koper bawaannya dan kembali ke rumah Kak Aswin.


(Kak Aston menatap jenazah ibunya)
Sulit rasanya untuk tidur malam itu. Saya pun mendekat ke samping peti jenazah. Sambil menatap dan membelai jenazah Tante Conny, saya mengingat kembali kunjungan Tante Conny ke rumah kami pada 2009 lalu. Dia seorang nenek yang energik, pikir saya. Beberapa saat kemudian mama mendekat dan saya meminta dia untuk bisa membantu saya mengambil gambar bersama Tante Conny untuk terakhir kali sebelum jenazahnya dimakamkan besok. Dengan senang hati mama membantu saya dan secara bergiliran kami mengambil gambar satu sama lain.


(Peti jenazah Tante Conny)
(Ciuman terakhir untuk Tante Conny)
(Ciuman terakhir untuk Zus Conny, kakak ipar terkasih)
Saya masih sibuk mengambil beberapa gambar lagi, mama kemudian masuk ke kamar dan beristirahat. Merasa cukup untuk mengambil beberapa gambar, saya mulai mengambil posisi untuk tidur di sofa ruang tamu. Saya menutup mata mencoba untuk tidur. Tapi saya tetap terjaga. Mata terpejam tapi tak bisa tidur. Sesekali gonggongan anjing tetangga membangunkan saya. Beberapa jam kemudian saya beranjak dari sofa tempat saya merebahkan tubuh. Kembali menengok peti jenazah Tante Conny beberapa saat, lalu saya pergi ke luar rumah dan membersihkan sekitaran tenda tempat untuk diadakan kebaktian pemakaman nanti.

Saat saya sedang menyapu sendirian, tiba-tiba ada suara yang sangat mengagetkan saya. Gonggongan anjing tetangga. Acuh dengan keributan anjing itu, saya tetap melanjutkan bersih-bersih tenda. Merasa sudah cukup bersih, saya kembali ke dalam rumah dan sedikit beres-beres lagi di sekitaran peti jenazah.

Mama bangun dan mulai beres-beres juga. Kloeman bangun dan segera mandi pagi itu. Selesai mandi dia mendekati peti jenazah dan ikut mengambil foto bersama jenazah Tante Conny.

(Kloeman berfoto dengan Tante Conny)
Kami pun segera bersiap-siap pagi itu untuk acara kebaktian pemakaman Tante Conny. Dengan setelan baju hitam, saya, papa, Kloeman, dan mama siap untuk mengikuti kebaktian pemakaman. Saya meminta papa pagi itu untuk mendekat ke peti jenazah dan juga mengambil gambar dengan jenazah Tante Conny, kakak tertuanya. Pagi itu juga banyak tetangga Tante Conny datang secara khusus untuk memberikan penghormatan terakhir untuknya.
(Papa menatap jenazah kakaknya)
Seorang perempuan yang membantu mengurus Tante Conny selama dia sakit datang mendekat di samping peti jenazah. Dia membuka kain tile, kain penutup peti jenazah, dan berbisik pada jenazah, “Bu, saya pamit dulu yah balik ke Bogor”. Sesaat kemudian dia mencium dahi jenazah Tante Conny sambil berderai air mata.
 
(Perempuan ini mencium Tante Conny, tanda perpisahan)
Kak Aswin sekeluarga dan Kak Aston tiba di rumah. Mereka mulai sibuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk kebaktian pemakaman hari itu. Beberapa saat kemudian Tante Sylvia, Kak Ale, dan Kak Irma, isrti Kak Ale tiba di rumah Tante Conny. Saya menyambut kedatangan mereka sambil memeluk dan mencium mereka bergiliran.

Berbincang sebentar, kemudian saya masuk kembali ke dalam rumah. Saat itu kami membawa titipan untuk keluarga Simanungkalit di Jakarta. Setelah menghubungi Elder Simanungkalit di Manado, kami menunggu kedatangan adiknya untuk mengambil titipan itu. Agak lama menunggu, Lyon, adik Elder Simanungkalit pun datang. Kami terlibat pembicaraan cukup lama dengan Lyon. Beberapa saat kemudian saya mengajaknya untuk foto bersama. Kami berbincang kembali dan Lyon saya ajak untuk menengok ke dalam. Dia mengiyakan ajakan saya. Kemudian setelah beberapa saat menengok di dalam, Lyon keluar dan segera pamit. Tante Sylvia mendekat sejenak di samping peti jenazah dan kembali menatap wajah kakaknya yang telah terbujur kaku.
 
(Lyon berfoto bersama saya dan Kloeman)
(Lyon berfoto bersama papa dan mama)

(Lyon menengok jenazah Tante Conny)
(Tante Sylvia menatap jenazah kakaknya)
Kami keluarga kembali bersiap-siap untuk kebaktian pemakaman. Para kerabat dan  keluarga yang lain datang. Di saat yanag hampir bersamaan, majelis Gereja Filadelfia datang. Mereka mempersiapkan kebaktian pemakamannya. Dan setelah siap, kebaktian pemakaman pun dimulai.

(Foto bersama keluarga sebelum kebaktian dimulai)
(Foto bersama Kak Aswin sekeluarga sebelum kebaktian dimulai)
Nyanyian dan doa kami panjatkan saat itu. Khotbah pemimpin kebaktian pemakaman menghibur keluarga yang berduka. Dalam hati saya, saya bersyukur bahwa Tante Conny bisa terbebas dari penderitaannya, saya juga bersyukur memiliki seorang tante yang baik dan mengasihi saya. Yang menguatkan saya adalah bahwa saya telah mengenal Injil yang Dipulihkan. Melalui rencana keselamatan yang Bapa Surgawi sediakan, saya tahu Tante Conny sekarang berada di sana, di tempat yang telah Bapa Surgawi sediakan. Dalam kebaktian pemakaman, papa diberi kesempatan untuk membawakan sambutan mewakili keluarga.
 
(Papa membawakan sambutan mewakili keluarga)
(Para pelayat dan keluarga besar Oom Lym, suami Tante Conny)
Kebaktian pemakaman selesai, para pelayat diberikan kesempatan untuk memberikan penghormatan terakhir untuk  Tante Conny. Dimulai dari anak-anak, Kak Aswin dan Istri, cucu-cucu, Aldo dan Glen, dan Kak Aswin. Kemudian para pelayat mendapat giliran. Ada yang sekedar melihat, ada yang menaburkan bunga, ada yang membubuhkan parfum ke dalam peti jenazah. Saat saya mendapat giliran, saya tak kuasa lagi membendung air mata. Saya menangis terisak. Papa, mama dan Kloeman pun meneteskan air mata saat itu. Tapi saya kagum pada Tante Sylvia, dia benar-benar tegar. Tak terlihat dia meneteskan air mata setetes pun.

Semua telah mendapat giliran. Sebelum peti jenazah ditutup, Kak Aswin bertanya, “Oom Jeames, Tante Syl, kita tutup petinya sekarang yah ?”. Mendapat persetujuan papa dan Tante Sylvia, peti jenazah kemudian ditutup. Peti jenazah diangkat, diarak keluar rumah dan langsung dimasukan ke dalam mobil jenazah. Para pelayat lain dan keluarga segera menyiapkan mobil masing-masing untuk ke Tanah Kusir, tempat Tante Conny akan dimakamkan. Setelah mobil jenazah mulai mengarah ke Tanah Kusir, satu persatu pelayat mulai mengikuti dari belakang. Kak  Aswin dan keluarga mengikuti dari belakang rombongan. Kak Ale dan kami pun mengikuti mobil Kak Aswin dari belakang.
 
(Peti jenazah di dalam mobil jenazah)
Di perjalanan kami mengontak Tante Lotje memberi tahu rencana pemakaman Tante Conny. Tidak sampai satu jam kami akhirnya tiba di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir. Turun dari mobil dan terus mengambil gambar, saya dengan cepat bergegas ke lokasi di mana Tante Conny akan dimakamkan. Ternyata Tante Conny dimakamkan di makam suaminya, Oom Lym, yang meninggal beberapa tahun lalu.

Peti jenazah diletakkan tepat di atas lubang makam. Sebelum kebaktian pemakaman dilanjutkan keluarga Kak Aswin dipersilahkan untuk mengabadikan beberapa gambar di dekat peti jenazah Tante Conny. Kebaktian pemakaman pun dilanjutkan. Kembali mengambil beberapa gambar, saya terkejut sekaligus senang ketika melihat Tante Lotje dan Oom Freddy, suaminya, hadir dalam kebaktian pemakaman. Masih dalam rangkaian kebaktian pemakaman, akhirnya peti jenazah dimasukan ke dalam lubang makam. Para petugas pun segera melaksanakan tugas mereka. Sambil menunggu para petugas mengatur peti jenazah di dalam lubang makam, kami dituntun untuk menyanyikan lagu oleh pemimpin kebaktian.

(Peti jenazah diletakan di atas lubang makam)
(Kak Aswin dan keluarga foto bersama di samping peti jenazah)
(Peti jenazah dimasukan ke lubang makam)
(Sedih namun berusaha untuk tetap tegar)
Kebaktian pemakaman berlanjut. Tiba saatnya untuk keluarga dan pelayat untuk menabur bunga dan minyak wangi ke dalam makam. Diawali oleh keluarga kemudian para pelayat mendapat gilirannya. Setelah acara menaburkan bunga dalam lubang makam selesai, petugas makam pun mulai menutup lubang makam. Sedikit demi sedikit tanah dimasukan menutupi peti jenazah. Akhirnya lubang makam telah tertutup semuanya. Para petugas makam merapikan tanah di atasnya. Acara kembali dilanjutkan dengan penaburan bunga di atas makam. Seperti biasa, keluarga mendapat bagian pertama. Diawali oleh Kak Aswin, diikuti Kak Sissy, istrinya, kemudian anak-anak, Aldo dan Glen, dilanjutkan oleh Kak Aston. Pelayat dan lainnya dipersilahkan kemudian. Menutup kebaktian pemakaman, Kak Aswin menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada semua pihak yang telah membantu mereka sampai pemakaman ibu mereka bisa terlaksana dengan baik.
(Taburan bunga di atas peti jenazah)
(Peti jenazah mulai tertutup tanah)
(Makam Tante Conny selesai ditimbun)
(Taburan bunga di atas makam Tante Conny dan Oom Lym)
(Kak Aswin menyampaikan ucapan terima kasih)
Setelah itu para pelayat mulai membubarkan diri dan keluarga pun mengambil posisi dekat makam dan mengabadikannya dalam beberapa foto. Pemakaman Tante Conny selesai, kami kembali ke mobil dan makan siang bersama dengan keluarga yang lainnya.

(Tante Sylvia, Saya, Kloeman, Mama, Papa, Kak Irma)
(Glen, Tante Sylvia, Saya, Kloeman, Papa, Mama, Kak Irma, Tante Lotje)
(Tante Sylvia, Saya, Kloeman, Papa, Mama, Kak Irma, Tante Lotje, Kak Aston)
(Rest In Peace)
(Tante Sylvia, Papa, Aldo, Kak Sissy, Kak Aswin, Kak Aston, Glen)
(Aldo, Kak Sissy, Kak Aswin, Kak Aston, Glen)
(Tante Sylvia dan Papa)
(Saya, Kloeman, Kak Ale, Aldo, Glen)
(Kak Aston, Kak Aswin, Kak Sissy, Saya, Kloeman)

(Kak Aston, Kak Aswin, Kak Sissy, Kloeman, Saya, Kak Ale)
(Conny Ellen Lang, 2007)




Tante Conny, kami mencintaimu. Sampai kita bertemu lagi. Saya tahu bahwa keluarga dapat kekal selamanya, kita bisa dikumpulkan dan dipertemukan kembali dengan mereka yang telah meninggal dunia. Kematian bukan akhir dari segalanya. Itu adalah cara untuk menuju kekekalan. Kita bisa berkata “Selamat Tinggal”. Tapi ini tidak untuk selamanya. Karena Keluarga Dapat Kekal Selamanya. Inilah Injil yang Dipulihkan itu. Saya tahu Bapa Surgawi mengasihi kita semua, putera dan puteri-Nya. Saya sampaikan ini dalam nama Yesus Kristus. Amin.